Search This Blog

Monday, September 27, 2010

SYMPHONI SAKIT HATI


By : Antonny Gersang
1)             Mengharap kasihmu seperti memandang bintang di siang hari
Berawal dari sebuah pengharapan
Berujung pada kenisbian penghayatan
Jalan yang kudaki kau tanami onak
Kecil tetapi banyak dan tajam
2)             Terlahir terakhir
Menumpang pada petang
Membadai dalam diam
Di mana lagi akan kudapati senyum manis yang menyedihkan hati
jika mentari sudah menepi?
Di mana kini mata teduh yang tajam menikam nurani?
3)             Ketika daun tak lagi merasakan kesejukan angin
Pantai jenuh bersetubuh dengan gelombang
Dan api tak lagi mampu membakar kayu
Di mana letak damai, kasih, dan harapan yang terserak oleh ingkar?
4)             Jiwa lelah untuk kembali
Apalagi untuk terus berlari
Tafakur
Mendorong kalbu semakin dalam tenggelam di gurun keikhlasan
Sampai tiba waktunya malam tak lagi melewati petang
Atau pun bermuara pada pagi
5)             Kapan malam?
“Kemarin.”
Kapan siang?
“Lusa!”
Lantas sekarang ini apa?
(Kuterdiam meragu diantara dua jalan berbeda,
Meski masing-masing butuh jawaban pasti; Segera!)
6)             Kisah ini adalah tentang hancurnya sekeping hati
Yang kau acuhkan saat kasih mekar bersemi
Tega kau siram tamanku dengan bara api
Kau luluh-lantakkan nurani yang penuh harap
7)             Kau ciptakan Symphoni Sakit Hati yang menikam sanubari
Kau bunuh benih yang baru saja tumbuh
Kau butakan mataku yang baru saja bisa memandang indahnya mentari pagi
8)             Kubersemadi di keramaian
Bertanya pada diam
Di manakah dia yang ada namun tiada tampak?
Yang terasa namun tiada tersentuh?
Yang menggelora meski telah padam?
Menggelegar dalam kematiannya?
9)             Sampai kapan hendak kau telantarkan aku?
Hingga kembang-kembang tebu jatuh berguguran?
Dan rambutku memutih beruban?
Ataukah hingga nafasku terlepas dari ragaku?
10)         Raga terbaca mata
Asa terbaca rasa
Tetapi jiwa, siapa gerangan punya rohnya?
Tertancap paku di jantung
Menghujam hingga ke sukma
Rasa meraga
Terluka dirajam asmaradahana
11)         Senandung kembang-kembang tebu tak lagi merdu
Karena senyummu memudah oleh kabut ketakutan dan cemas
Mengapa hatimu khawatir?
Bukankah cinta adalah kekuatan maha dahsyat yang mampu mengalahkan apa pun?
12)         Sayapku telah kau patahkan dengan kebekuanmu
Luka membiru tersayat sembilu
Pedih
Sakit
Tetapi tetap kunikmati kehinaan ini
Kusyukuri keterbuangan rasaku
Kau kubur aku di jalanku
13)         Hampir tiba saatnya perjalanan di akhir kisah
Tiada yang terbuang sia-sia meski banyak yang terabaikan
Pupus harapan ditelan halilintar musim ini
Padahal kembang-kembang tebu sedang mulai mekar
14)         Kuncup-kuncup bunga bermekaran
Tampak menebar senyum sinis atas kegagalanku
Episode ini adalah kehancuranku
Luluh-lantak
Hancur-lebur
Bahkan sebutir debu pun masih lebih besar dari puing-puing rasaku ini
15)         O… bayu senja
Sejukkan jiwa merana terpanggang smaradahana ini
O… Samudera
Tenggelamkan aku di kedalamanmu
Agar tiada tampak lagi peluh-peluh kesakitanku
O… guntur
Rajam aku dengan kilatmu yang panas membakar tiada ampun
Agar nafasku yang tinggal selarik ini putuslah segera
16)         Mengapa cinta ada jika nestapa ikut serta
Mengapa cinta ada jika kasih tak berbalas?
Di manakah arti damai jika hasrat memiliki telah kubuang?
Mengapa ada tabir untuk menyimpan ketidakjujuran?
Di mana kini pintu keterbukaan?
17)         Yang kutahu pasti
Mata tiada pernah bisa berdusta
Sementara hingga saat terakhir
Belum juga kutemukan setitik pun bias kasih di matamu untukku
Hampa
Aku seperti mayat ketika mata tajammu menikamku
Tiada berarti diriku bagimu
18)         Aku berjalan tanpa kaki
Merengkuh tanpa tangan
Bicara tanpa bibir
Melihat tanpa mata
Mendengar tanpa telinga
Sebab semua aku lakukan hanya dengan satu bagian tubuhku: Hati
Di sanalah kemegahan istana sunyiku tersembunyi
19)         Biarkan ombak terus menjilati bibir pantai
Biarkan angin lembut membelai dedaunan
Biarkan hujan meraba punggung sang gunung
Biarkan
Sebab dukaku pun setia setubuhi kebekuan ini
Gairahku memudar
20)         Aku tahu
Engkau tiada harus tahu rasa ini
Apalagi untuk mengerti
Aku tahu
Jalan ini mungkin tidak kau kehendaki
Meski telah terukir sebuah prasasti
Engkau tiada punya keharusan untuk melegakan dahagaku
21)         Aku mengerti
Jika pendakian ini terlalu naïf bagimu
Aku bisa menerima
Jika dahagaku kau puaskan dengan bara baja
Aku ikhlas
Jika harus terlindas cadasmu
Aku hanyalah riak
Yang mencoba berharap mampu tipiskan ketegaran karangmu
22)         Aku mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana keikhlasan kembang-kembang tebu
Yang berguguran tertiup semilir angin musim ini
Jatuh tanpa bersuara
Meski sakitnya teramat dalam merajam sukma
23)         Tiada lagi setetes pun air mata yang tersisa
Hampa
Hambar
Gelap
Pekat
Pahit
Nyeri
24)         Dan jika akhirnya rasa ini tiada berbalas
Jika rasa ini kau buang ke dalam jamban
Jika semua tidak pernah berarti bagimu
Maka aku hanya bisa mengucapkan
Terima kasih
25)         Biarkan kututup Symphoni Sakit Hati ini
Dengan sebuah tawa untuk menertawakan kebodohanku

No comments:

Post a Comment